Wedang Ronde, Spirit Persaudaraan Antar Budaya Yang Tersaji Dalam Satu Mangkuk

    Wedang Ronde, Spirit Persaudaraan Antar Budaya Yang Tersaji Dalam Satu Mangkuk

    Jawa Tengah – Sejak dulu, di dunia ini manusia sudah sangat akrab dengan persilangan budaya, dimana wujudnya sangat beragam. Ada yang berupa piranti untuk kerja, ada juga yang berupa kesenian, bahasa, seni arsitektur, bahkan mungkin juga sistem pemerintahan.

    Kali ini, yang paling umum dibicarakan adalah persilangan budaya dalam rupa boga, seperti sajian kuliner yang satu ini yakni wedang ronde.

    Dari namanya, mungkin banyak orang beranggapan bahwa kuliner yang satu ini khas Jawa, padahal minuman penghangat badan ini adalah minuman yang telah mengalami proses perkawinan antar budaya, yaitu budaya Jawa-Tiongkok. Lalu, bagaimana ceritanya mereka bisa kawin ?

    Ronde berasal dari bahasa Tiongkok yaitu onde/jian dui/tangyuan/tangtuan. Onde berbentuk bulat terbuat dari tepung beras ketan yang direbus sebelum disajikan.

    Ukuran kue jajanan pasar ini bisa kecil atau besar dan bisa diberi isian di bagian dalamnya, diantaranya gula, wijen, bunga osmanthus, pasta kacang manis, manisan kulit jeruk, daging giling, dan sayuran. Sedangkan di bagian luar, umumnya ditaburi biji wijen.

    Onde sudah dikenal di Tiongkok sejak ratusan tahun silam terutama pada era Dinasti Tang (618–690 dan 705–907 M). Namun ada juga versi yang menyebut bahwa kue ini mulai dibuat sejak era Dinasti Zhou (1066-221 SM), yang disajikan bagi para tukang kayu dan batu yang bekerja saat membangun istana.

    Filosofinya adalah, pada waktu itu kue onde dijadikan sebagai simbol keselamatan dan kebersamaan sehingga diharapkan akan memberi semangat kepada para tukang agar mereka senantiasa bersama-sama saat bekerja demi keselamatan negeri mereka.

    Itulah yang membuat onde mempunyai makna mendalam bagi bangsa Tiongkok. Begitu spesialnya onde, bahkan sampai-sampai bangsa Tiongkok menganggapnya sebagai anugerah besar bagi kehidupan mereka, makanya diadakan hari khusus bagi kue onde sebagai hari raya kue onde.

    Ocdy Susanto, salah satu pemerhati budaya tionghoa di Jawa Tengah mengemukakan,  bahwa sembahyang onde di Tiongkok sudah ada sejak pemerintahan Kaisar Song Kho Cong (1127-1152 M). Sementara versi lainnya sudah ada sejak pemerintahan Dinasti Han (220-206 SM).

    “Biasanya, perayaan onde jatuh pada bulan ke-10 atau ke-11 tionghoa,  tetapi itu bukan hitungan pasti tergantung dari perhitungan  empat tahun sekali. Sementara dari tarikh masehi, perayaan onde jatuh pada tanggal 22 Desember yang bertepatan dengan Hari Ibu atau tiga hari jelang perayaan natal bagi umat kristiani, ” terangnya, Senin (3/1/2022).

    Lanjutnya, selain hari tersebut,  masyarakat tionghoa biasa mengkonsumsi ronde saat festival lampion (yuanxiao) atau festival dongzhi, perkumpulan keluarga, maupun pesta pernikahan.

    Sembahyang onde biasanya dilakukan di vihara/klenteng, merupakan persembahan bagi para dewa, arwah leluhur, dan ditujukan juga untuk elemen-elemen alam (logam, air, api, tanah, dan kayu), yang bertujuan agar seluruh anggota keluarga diberikan keselamatan dan kebaikan.

    Sebelum sembahyang dilakukan, onde yang dibuat sendiri ditaruh di dalam mangkuk diletakkan diatas nampan bersama kuah di dalam teko. Selanjutnya nampan itu dibawa ke vihara dan ditaruh di atas altar persembahan.

    Kemudian setelah sembahyang onde selesai dilakukan, mereka akan membagikan kue onde itu kepada sanak saudara, tetangga, dan kawan-kawan mereka, terutama bagi mereka yang tidak membuat kue onde. Harapannya adalah agar semua orang dapat merasakan kebahagiaan yang sama.

    Khusus untuk anak-anak, mereka akan memperoleh kue onde sebanyak umur mereka. Contoh, anak usia 3 tahun maka ia akan dapatkan 3 kue onde, sedangkan yang usianya 10 tahun maka ia akan dapat 10 buah.

    Satu lagi tradisi yang unik di kalangan tionghoa saat merayakan sembahyang onde, jika di rumah mereka ada salah satu keluarga yang sedang hamil, setelah mengentas kue onde yang dijemur kemudian onde ditusuk dengan lidi dan dibakar untuk mengetahui jenis kelamin bayi yang sedang dikandung.

    “Jika kue onde mentah itu merekah maka dipercaya bayi itu perempuan, sebaliknya jika onde itu menonjol keluar maka bayi laki-laki, ” sambungnya.

    Perkembangan Ronde di Indonesia.

    Konon, ronde masuk ke Indonesia pada zaman pemerintahan kerajaan Majapahit, dimana dibawa para pedagang Tiongkok bersama Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming saat melakukan penjelajahan.

    Bagi masyarakat pribumi (Indonesia), ronde umumnya dikonsumsi sebagai wedang ronde. Filosofi onde asal Tiongkok yang mengedepankan persaudaraan menjadi cepat berakulturasi dengan kebiasaan masyarakat pribumi yang identik dengan sajian minuman kopi dan teh untuk menyambut tamu.

    Satu porsi wedang ronde sendiri isinya meliputi beberapa bulatan ronde yang berisi kacang manis tumbuk, taburan kacang tanah goreng, potongan roti, kolang-kaling, ubi, wijen hitam, dan tentunya disajikan dengan air jahe panas, kuah dari gula aren, bahkan ada juga yang dicampur dengan sirup.

    “Jadi seiring perkembangan zaman, saat ini ronde sudah menjadi jajanan yang dikonsumsi kapanpun sepanjang tahun. Warnanya tak hanya putih saja, namun saat ini bervariasi untuk menarik pembeli, ” tandasnya.

    Ada beberapa tempat yang menjual wedang ronde dengan gerobak dorong atau gerobak motor di pinggir jalan, seperti di Pasar Besar Malang, Pasar Lama Tangerang, Yogyakarta,   Semarang Wotgandul, di sekitar klenteng, dan lain-lain.

    Bagi warga tionghoa di Indonesia, cara membedakan tangyuan dan yuanxiao yaitu, tangyuan adalah ronde tanpa isi (disajikan dengan air jahe manis) yang dikonsumsi pada tanggal 22 Desember, sementara yuanxiao adalah ronde dengan isi manis (disajikan dengan kuah tawar) yang dikonsumsi pada purnama pertama pada tahun baru Imlek.

    “Wedang ronde adalah perpaduan budaya tionghoa dengan nusantara. Selain nikmat, wedang ronde dapat menghangatkan tubuh untuk mencegah masuk angin, juga dipercaya bisa menambah stamina tubuh, ” tandasnya.

    Apapun itu, menurut Ocdy,  kehadiran wedang ronde sebenarnya turut menggerakkan ekonomi warga. Kini wedang ronde sudah menjadi bagian dari gaya hidup, apalagi saat menikmati kehangatannya di malam hari di tempat ketinggian dengan pemandangan gemerlap lampu perkotaan. Nuansa ini adalah sesuatu yang bisa melepas penat seseorang setelah seharian beraktivitas. (Aan/Red)

    AAN SETYAWAN

    AAN SETYAWAN

    Artikel Sebelumnya

    Operasi Lilin 2021, Angka Kematian Akibat...

    Artikel Berikutnya

    Prosesi Siraman Mewarnai Upacara Kenaikan...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Nagari TV, TVnya Nagari!
    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    WBP Lapas Semarang Terima Sertifikat dari BBPVP dan dinyatakan Kompeten dalam Pelatihan Basic Barista
    Hendri Kampai: Merah Putih, Bukan Abu-Abu, Sekarang Saatnya Indonesia Berani Jadi Benar
    Babinsa Wonosari Klaten Hadiri Rapat Koordinasi Linmas Desa Sidowarno, Persiapan Pilkada Serentak 2024

    Ikuti Kami